#NGALORNGIDUL

PATMO.id — Sakjane uakeh banget, banyak sekali orang-orang Saburaya yang masuk kriteria bangsat.
Tapi yang saya hujat sekarang bukan mereka. Belakangan ini ada sejumlah bangsat di salah satu kabupaten di sebelah timur Saburaya yang nggemesin.
Bupati Kabupaten Lebar sedang berulah. Apa yang dia lakukan sama seperti ulah Juliari Batubara Mantan Menteri Sosial di negara tetangga, Republik Indonesia.
Tapi dalam versi tipis-tipis. Ya, cuma ratusan juta aja dibagi sama bolo-bolonya.
Dia dapat duit yang dia klaim legal. Ono aturane. Itu adalah uang yang dia dapat karena sudah menjadi pemimpin tim pengawas pemakaman Covid-19.
Karena itu tim, mestine bolo-bolone yo oleh. Nah tibake, yang bikin aturan ya dia sendiri.
Terus, setelah ramai diberitakan media, wartawan podo takon, enak aja dia jawab, “uang ini tentu tidak saya pakai pribadi. Tentu akan saya berikan kepada keluarga korban Covid-19 yang benar-benar membutuhkan.”
Taek, taek!
Bangsate maneh ngene, lur. Dia ini bupati yang dipilih rakyat Kabupaten Lebar dengan harapan tinggi supaya pemerintahan di sana lebih baik setelah kepempimpinan bupati sebelumnya sing iso diomong sundal.
Lhadalah, kok malah dia marai gelo.
Soal kasus ini, Ponidi yang merupakan salah seorang pengamat Politik dan Tata Negara sampai kehabisan kata-kata. Mumet ndase.
Dia cuma bisa bilang, ini korupsi yang dilegalkan. Podo karo maling sing wis dilindungi undang-undang.
Ya, memang sudah maklum. Di negeri Indanisua ini, semua kejahatan yang merugikan rakyat hampir-hampir sudah semuanya dilindungi undang-undang.
Sudah di-enggak apa-apa-kan. Tinggal rakyat yang perlu berupaya keras memaklumi para bangsat ini.
Seringkali begini. Saya cerita sedikit, ya, soal pengalaman mbengkel mobil di Saburaya.
Mobil warisan bapak saya ini sejak dibeli kredit sampai lunas enggak pernah masuk bengkel selain “bengkel resmi”.
Regane nggilani. Sekali servis bisa sampai dua juta lebih. Itu pun kenanya cuma servis sama ganti oli, lain-lainnya enggak nutut karena antreannya terlalu banyak.
Berhubung sekarang bapak saya sudah tidak ada, saya yang harus mumet mikir bondo.
Setelah menimbang-nimbang berbagai macam faktor alias galau, saya pun memutuskan, tidak bisa begitu lagi.
Hidup memang sebentar, tapi tidak bisa kita menyerah kalah pada kapitalisme yang menjajah orang berdompet tipis.
Saya putuskan mbengkel di bengkel mobil yang “bukan resmi”—saya sebenarnya juga enggak sepakat dengan istilah ini karena bengkel lain, ya, resminya juga bengkel mobil gitu loh.
Ealah Jancuk, jancuk. Selisihnya uadoh.
Di bengkel bukan resmi itu, saya minta mesinnya diservis, benerin kaca mobil yang goyang, ganti oli, sama benerin bemper yang kendo.
Semuanya cuma sangangatus ewu. 900 ribu. Bengkel resmi gathel a! Mosok sing resmi mesti larang.
Saya pun mencari cara memaklumi itu. Saya bandingkan bengkel resmi dan bukan resmi itu.
Bengkel resmi itu, lokasinya strategis, gedungnya lebih besar dan luas, peralatannya, terus karyawannya banyak.
Jadi ada biaya sewa gedung atau pajak dan lain-lain, perawatan mesin, juga gaji karyawan.
Akhirnya, saya menemukan alasan yang saya anggap logis, kenapa biaya servis di bengkel resmi lebih mahal. Supaya saya tidak lagi menyesal.
Tapi untuk kasus para bangsat ini, terutama Bupati Lebar dan bolo-bolonya, saya sama seperti Ponidi.
Angel pokoke menemukan alasan-alasan logis yang bisa membuat kita maklum atas apa yang dia lakukan dan dia utarakan.
Ngalor-ngidul-mumet, jebol ndase, kesimpulane tetep, wong iku bangsat.
Belum puas saya hujat Bupati Lebar ini bersama teman-teman saya, dadak mak bedunduk mak jugagik, ada berita anggaran pemeliharan saluran mampet di ruangan Wakil Ketua Pengadilan Besar Indanisua yang nilainya sampai 1,65 miliar.
Asu, asu. Ono-ono ae tingkahe bangsat-bangsat iki.
Sebagai warganegara Indanisua yang cinta tanah air, saya sedih karena saya tidak bisa melakukan sesuatu yang meskipun tidak bisa memperbaiki, tapi setidaknya menyuarakan aspirasi.
Ora ono demo gess! Enggak oleh. Tapi lek pesta ulang tahun, boleh lah!
Denza Perdana—Jurnalis, Penulis, bukan Pedansa, yang masih setia menjadi reporter di Suara Surabaya.
Ngalor-ngidul — Tanpa juntrungan. Tanpa poin. Tanpa berpikir panjang. Rubrik freewriting yang membebaskan. Tanpa ampun. Anggap saja draft.