#memorablescene

Patmo ID

PATMO.id—Malam telah sirna. Pagi sudah sempurna. Langit membiru dan sinar matahari masuk ke jendela ruang tengah ketika aroma khas Perilla menyeruak masuk ke hidung pria 40 tahunan yang sedang tertegun.

Pria itu sedang duduk bersila di depan meja penuh lauk pauk. Di seberangnya, suara denting beling dari aktivitas menyiapkan nasi ke dalam mangkuk oleh seorang perempuan sepuh nyaris tak terdengar.

Mereka adalah ibu dan anak. Sang anak adalah dokter rumah sakit ibukota yang setiap akhir pekan datang ke rumah ibunya yang tinggal sendiri di desa.

Tidak ada alasan khusus si anak datang berkunjung.

Baginya, berkunjung ke rumah ibunya punya banyak tujuan: menjawab rindu, mengetahui kabar, atau melewati hari bersama. Atau kali itu, merasakan masakan ternikmat di dunia: masakan Ibu.

Pagi itu Sang Ibu memasak olahan daun Perilla segar dengan bumbu di setiap helainya. Anaknya tak berhenti memuji dedaunan yang masuk ke mulutnya dengan sumpit.

’Enak sekali, Bu’, katanya disambut semangkuk nasi menggunung dari Sang Ibu.

“Mustahil ini saya habiskan,” kata si anak. “Kenapa mustahil? Kamu masih dalam masa pertumbuhan,” entah seloroh entah serius. Tapi Sang Ibu menyatakan itu dengan nada yang sangat wajar.

Cerita di atas adalah salah satu adegan di antara 95 menit durasi episode ketiga season kedua serial Hospital Playlist.

Serial ini tayang setiap Kamis malam di Netflix dan sampai tulisan ini tayang sudah berjalan 10 episode, menyisakan dua episode lagi.

Setelah menghela napas panjang, anak kembali memakan daun Perilla, kali ini dengan nasi. Lagi-lagi dia memuji makanan itu sambil menahan panas di mulutnya.

Ibunya yang mendengar itu terlihat girang dan mengekspresikan kegirangan itu dengan memasukkan lagi satu centong nasi ke mangkuk anaknya.

Sang Anak termangu melihat ibunya. Seakan protes “kenapa ditambah lagi?” Tapi hanya mata dan wajahnya yang bicara.

“Mangkuknya kecil. Kelihatannya saja banyak, padahal tidak,” ujar Sang Ibu seolah menjawab pertanyaan putranya.

Saya merasa sangat relate dengan adegan ini. Setiap di rumah, ibu saya seringkali membuat piring saya penuh saat makan. Baik nasi maupun lauk. Mungkin ini bentuk perhatian, atau secara eksplisit kita menyebutnya cinta.

Tapi bagi saya, ini siksaan.

Saya tidak bisa menolak pemberian Ibu, termasuk piring yang penuh. Saya tidak bisa melakukannya dengan kata-kata. Tapi dengan gesture dan mimik wajah agar nasi itu dikurangi, Ibu saya memahami kode-kode itu.

Bagi setiap Ibu, seorang anak adalah anak kecil berapa pun usianya. Kita akan diperlakukan seperti itu seterusnya saat di rumah, saat di dekatnya. Kau akan dilayani layaknya masih bocah, dapat perhatian seperti masih bayi, dan terus disayang dengan banyak cara.

Coba, apa bisa saya protes dengan cara-cara itu meski kadang terasa menggelikan?

Seperti pernah waktu itu, sesaat setelah saya wisuda S1, ibu memeluk saya tanpa aba-aba. Kejadiannya di pinggir jalan raya saat ibu mau masuk mobil meninggalkan saya. Dan saya merasa salting bukan kepalang.

Sebelum itu, jika dihitung, saya hanya dua kali memeluk Ibu. Semuanya terjadi saat Idulfitri. Bukan durhaka, tapi hanya dua kali itu saya pulang Idulfitri dan kumpul keluarga selama 20 tahun.

Meski begitu, bukan itu alasan saya salah tingkah dan wajah memerah ketika ibu memeluk saya. Tapi karena Ibu melakukannya di depan teman-teman saya yang semuanya junior saya di organisasi kampus.

Hmmm. Love You, Mom.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *