#HEAVENLY MINUTES

PATMO.id — Tengkorak. Api. Pistol. Terbakar merah-orange-kekuningan menyala. Menyilet mata saya waktu pertama kali melihatnya.
Itu di kisaran 2006. Saya masih kelas 6 SD. Suka menerobos masuk ke kamar kakak saya. Mengobrak-abrik benda. Seringkali menemukan kaset tape, zine punk, atau majalah bersampul Sarah Azhari kalau beruntung.
Beberapa kaset menarik perhatian saya. Tapi tak ada yang benar-benar mencolok secara visual dibanding sampul kaset dengan background hitam itu.
Burgerkill – Beyond Coma and Despair. Begitu saya membacanya. Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mempreteli isinya.
Tiga sosok tampil — satu gondrong, dua cepak — beserta lirik-lirik lagu yang jelas akan Anda jumpai saat membongkar rilisan fisik, terutama tape.
Saya kira mereka adalah band rock pada umumnya. Seperti Boomerang atau katakanlah, Seurius.
Sampai pada kisaran tahun 2008, saat saya kelas 8 SMP, saya kembali menemukan nama band ini dalam PC — tentu saja dalam folder lagu kakak saya.
Hanya tiga lagu: “Tiga Titik Hitam”, ” Atur Aku”, dan “Shadow of Sorrow”.
Saya memutar judul lagu pertama, yang ternyata diisi vokal Fadly, vokalis Padi. Saya tak pernah benar-benar mendengarkannya sampai tuntas.
Menurut saya, Burgerkill, adalah band rock pada umumnya. Distortif, gagah, sekaligus masih bisa didengarkan.
Tapi dua lagu berikutnya, membuat saya seakan dikutuk, sampai detik ini. Membuat saya seolah haus, dan akhirnya menjelajah sebuah genre musik yang membuat hidup saya tak pernah lagi sama.
Genre itu adalah metal. Dan Burgerkill adalah pintu gerbang pertama saya, yang akhirnya terjerumus masuk dan tak pernah keluar lagi — tak pernah mau keluar, tak akan bisa keluar.
Saya pertama kali mendengar metal dari lagu yang diperdengarkan kawan saya, Jay, saat jam kosong di kala SMP. Lagu “Bendera Kuning” dari Betrayer.
Tapi saya lekas melupakannya. Saya pikir saya tidak cocok mendengarkan musik semacam itu.
Tak dinyana, kutukan Burgerkill segera hinggap saat di suatu sore, tatkala saya pulang sekolah, dengan masih bau kaus kaki, saya meraih pemutar musik punya ayah saya. Sejenis versi murahan dari iPod, merek-merek China yang entah dibeli dari mana.
Di dalamnya, playlist musiknya nyatanya sudah dikooptasi kakak saya. Hampir semua lagu di PC, masuk di dalamnya.
Dan secara kebetulan, di layar, saya melihat judul “Atur Aku” dari Burgerkill.
Sempat saya akan menggantinya, tapi, ada perasaan aneh yang mendorong saya untuk mendengarkannya.
Di situlah, di momen itulah, hidup saya berubah selamanya.
“Atur Aku” menjadi gerbang menuju neraka. Sensasi yang benar-benar membuat saya terpejam-menyeringai.
Suguhan metal yang catchy. Tapi menyimpan hal kelam, pedih, kasar, brutal — tak bisa dilukiskan. Ada memang musik yang membuat orang yang mendengarkan merasa keren.
“Atur Aku” seolah diciptakan seperti itu untuk saya.
“Shadow of Sorrow” jadi jebakan selanjutnya. Kutukan yang berlapis-lapis. Kuping cupu saya seolah diteror. Dibenturkan. Dihancurkan. Dileburkan.
Tak ada menit-menit surgawi di lagu-lagu itu. Karena semua menit adalah neraka. Sekali Anda masuk, Anda tak akan pernah bisa keluar lagi.
Burgerkill mengutuk saya hingga bertahun-tahun kemudian: saat saya menjuluki diri saya sebagai Begundal — julukan penggemar Burgerkill; saat saya tahu fakta bahwa Ivan Scumbag, sang vokalis, meninggal dua minggu sebelum album Beyond Coma and Despair rilis; sampai ketika saya kikuk saat bersalaman dengan Ebenz, sang gitaris, di sebuah liputan gigs 2015 silam —saya benar-benar menitikkan air mata tatkala Burgerkill, dengan vokalis baru Vicky Mono, membawakan “Atur Aku” dan langsung digempur “Shadow of Sorrow”.
Perasaan yang sureal. Perasaan yang seolah turut merasakan kegetiran lirik Almarhum Ivan, sekaligus merasa kehilangan. Perasaan yang meledak, karena band idola yang membuat hidup saya tak pernah lagi sama, berada di jarak beberapa meter saja, dari backstage tempat saya berpijak.
Dan sekarang, saya tak tahu harus berkata apa lagi.
Ricky Andreas, salah satu sobat per-metal-an SMA saya sekaligus pentolan banyak band di Malang, mengatakan dalam sebuah pesan, tepat saat berita kematian Ebenz, sang frontman Burgerkill, tersiar Jumat (3/9/2021) kemarin.
“Idola kita semua. Tanpa Ebenz, musik hardcore akan sangat membosankan.”
Rest In Peace, True Megabenz. Tak ada lagi yang bisa saya katakan selain terima kasih. Usia saya — meminjam term Seringai — berhenti di usia 14. Tak pernah menua, karena riff-riff gitar jahanam dari Anda.
Selamat jalan. Lekas berjumpa Scumbag, dan buat surga bising, melebihi riuh-rendah neraka.